Mapasma Menepis Asumsi Negatif dan Membangun Resiliensi Untuk Kontribusi Sosial
Oleh: Sunandar Azma'ul Hadi
Oleh: Sunandar Azma'ul Hadi
Ketika kita mendengar istilah Mahasiswa Pecinta Alam, apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran kita? Apakah mereka mahasiswa abadi yang sering kali terkesan dengan penampilan urak-urakan, jarang mandi, atau hanya memiliki hobi mendaki gunung? Meskipun sebagian asumsi tersebut tidak sepenuhnya salah, menyederhanakan pandangan kita terhadap Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) hanya berdasarkan stereotip tersebut akan membatasi pemahaman kita tentang karakter sejati mereka.
Mahasiswa pecinta alam sejatinya memiliki karakter yang jauh lebih kompleks. Mereka dikenal dengan ketangguhan yang luar biasa, kemampuan untuk beradaptasi dalam berbagai kondisi medan yang sulit, serta kepekaan sosial yang sangat tinggi. Yang paling menonjol, mereka mampu menjalin ikatan persaudaraan yang sangat erat, meskipun tidak terlahir dari rahim yang sama. Namun, karakter mereka yang sering dianggap ‘apa adanya’ atau acuh terhadap penilaian masyarakat, terkadang memunculkan asumsi-asumsi miring yang berkembang pesat di kalangan publik. Asumsi negatif ini tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja, dan perlu ada upaya untuk mengubah pandangan tersebut menjadi lebih positif.
Mahasiswa Pecinta Alam STITNU Al Mahsuni (Mapasma) berinisiatif untuk membalikkan stigma negatif yang selama ini melekat pada mereka. Langkah awal yang diambil adalah dengan menyelenggarakan diskusi bertemakan Resiliensi Mahasiswa Pecinta Alam. Mapasma menyadari, agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat, mereka harus terlebih dahulu mendapatkan dukungan dari masyarakat itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, sebagian kelompok masyarakat yang masih memiliki pandangan negatif terhadap mahasiswa pecinta alam memiliki alasan tersendiri. Namun, hal ini lebih disebabkan oleh ketidakmampuan kita untuk merangkul mereka dengan cara yang lebih hangat dan terbuka.
Pengakuan masyarakat terhadap mahasiswa pecinta alam memainkan peranan yang sangat penting dalam memperkuat motivasi dan membangun rasa percaya diri mereka. Ketika masyarakat memberikan pengakuan ini, mahasiswa merasa dihargai dan lebih termotivasi untuk berkontribusi dalam upaya pelestarian alam serta menjaga keberlanjutannya. Pengakuan tersebut menjadi pendorong utama bagi mereka untuk terus berjuang demi kelestarian lingkungan yang lebih baik.
Sebagian besar anggota Mapala sudah merasakan dukungan sosial yang cukup signifikan. Dukungan ini sangat krusial, karena memberikan rasa aman, penghargaan, perhatian, serta bantuan yang dibutuhkan saat menghadapi tantangan. Namun, meskipun dukungan sosial ini telah ada, tingkat kepercayaan diri di kalangan anggota Mapala belum sepenuhnya maksimal. Banyak di antara mereka yang merasa bahwa dukungan yang diterima belum memenuhi harapan, terutama ketika mereka dihadapkan pada situasi penuh tekanan atau kesulitan. Faktor-faktor seperti potensi penerima dukungan, kemampuan penyedia dukungan, dan struktur jaringan sosial berperan penting dalam menciptakan dukungan yang efektif. Oleh karena itu, organisasi seperti Mapala perlu memperkuat jaringan sosial mereka, membangun kepercayaan antaranggota, serta meningkatkan keterlibatan dalam memberikan dan menerima dukungan yang ada.
Mapala yang dikenal memiliki tingkat resiliensi yang tinggi seharusnya mampu bertahan menghadapi tantangan apa pun, bahkan membalikkan tekanan tersebut menjadi dukungan yang lebih kuat. Namun, untuk itu, penting bagi setiap anggota untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka, menyadari bahwa potensi yang mereka miliki sudah cukup mumpuni untuk menghadapi tantangan tersebut. Diskusi yang diselenggarakan oleh Mapasma STITNU Al Mahsuni ini diharapkan dapat melahirkan inovasi kegiatan berbasis persoalan sosial yang sedang terjadi, serta memperkuat kontribusi mahasiswa pecinta alam dalam menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat.
Melalui kegiatan seperti ini, Mapasma berharap dapat membuka ruang bagi mahasiswa pecinta alam untuk berkolaborasi lebih erat dengan masyarakat, serta mengubah pandangan yang ada menjadi lebih positif. Sebab, pada akhirnya, kontribusi nyata yang diberikan kepada lingkungan dan masyarakat adalah cara terbaik untuk membuktikan bahwa mahasiswa pecinta alam lebih dari sekadar stereotip yang selama ini ada.